Selasa, 29 Desember 2020

Gus Dur: 10 Tahun Lagi Anak Muda NU akan Bangkit dan Mengalahkan Gerakan Radikal

Tidak ada komentar:

             Cerita ini Shuniyya dapat dari Ibu Andree Fiellard, penulis senior asal Perancis. Ketemu beliau dalam acara makan siang di kota Kendal tanggal 31 Maret 2019.


Beliau sudah ada di Indonesia sejak akhir tahun 1970an. Meneliti organisasi Islam moderat di negeri ini hingga jatuh cinta dengan NU.


Persahabatan Sang Peneliti dengan Mbah Wali Gus Dur, dimulai sejak beliau menjadi Ketua Umum PBNU, Presiden RI maupun setelah itu tetaplah terjaga.


Bu Andree sering mengikuti kemanapun Mbah Wali pergi. Memasuki era tahun 2004, gerakan radikal mendapatkan panggung luas di negeri ini.


Tahun 2005 Bu Andree pernah menanyakan kepada Mbah Wali, bagaimana sikap NU dalam menghadapi gerakan radikal yang semakin merajalela.


Mbah Wali hanya dhawuh: “Anak muda NU akan bangkit 10 tahun lagi. Kita akan panen. Mereka akan kalah dengan anak muda kita”.


Subhanaka ya Allah la 'ilma lana illa ma 'allamtana. Apa yang didhawuhkan Mbah Wali terbukti sudah. Sejak tahun 2015 anak muda NU membuat gerakan yang berhasil menghadang kelompok radikal.




Dan kini kita benar-benar panen anak muda NU yang solid dan mantap. Sebuah generasi yang tidak pernah diprediksi kelompok radikal dan bala kurawanya. Yang seakan muncul mendadak dan memporak-porandakan gerakan masif mereka.


Selamat berjuang di segala lini wahai anak muda NU. Mbah Wali Gus Dur bersama kalian semua.

Gusdur & Gusmus

Tidak ada komentar:

            Sosok di sebelahku ini sejak pertama kali aku mengenalnya (di Kairo Mesir, tahun 1964), sudah menarik hatiku. Sebelumnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Pada waktu aku ke rumahnya di Jakarta dan bertemu ibundanya, sama sekali tak ada diceritakan tentang dirinya dan keberadaannya di Mesir. Tapi begitu berjumpa, sikapnya seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama. Tak ada basa-basi lazimnya orang baru bertemu dan berkenalan. Justru aku yang canggung dengan sikapnya yang tidak umum itu.

              Dan sudah sejak pertemuan ('tanpa perkenalan') itu, dia memanggilku "Mus" dan aku memanggilnya "Mas". (Baru ketika pulang di tanah air, ketika orang-orang memanggilnya "Gus", dia pun memanggilku "Gus", meski aku tetap memanggilny "Mas"). Alhamdulillah, di rumah aku punya kakak (Almarhum KH. Cholil Bisri) yang seperti sahabat karib dan di perantauan, Allah menganugerahiku sahabat karib yang seperti saudara ini.

           Di dekatnya, aku selalu merasa kecil. Mungkin karena, aku selalu memperhatikan pikiran-pikirannya yang besar. Sering apa yang kupikir besar, dia bisa menjelaskan bahwa itu hanya perkara sepele; meski dia tidak selalu menjelaskannya. Sementara aku masih sibuk memikirkan kuliah dan persiapanku menghadapi ujian, dia sudah memikirkan Indonesia dan bagaimana bisa mempersiapkan khidmah yang optimal bagi negeri yang dicintainya itu. Ketika aku baru memikirkan bagaimana setelah pulang nanti aku membangun rumah tangga, dia sudah memikirkan bagaimana membangun peradaban dunia.

            Baginya dunia ini --termasuk kekuasaan-- hanyalah main-main dan senda gurau belaka, seperti difirmankan olehTuhannya sendiri. (Q. 6: 32, Q. 47: 46, Q. 57: 20). Baginya, yang terbesar dan terpenting ialah Allah, kemudian hamba-hambaNya.

Karena itu ungkapannya "Begitu saja kok repot..." , bagiku, bukan ungkapan m a j a z atau k i n a y a h belaka.




 
back to top